Berawal dari Buku Kenangan

Berawal dari Buku Kenangan
Illustrasi: Pexels.com

Sudah setahun lebih aku sendiri. Tidak mempunyai pasangan. Alias, jomblo. Walaupun begitu, aku bahagia dan tidak memiliki banyak beban perasaan seperti orang-orang di luar sana. Karirku sebagai penulis yang baru aku mulai tidak terlalu menjadi beban berlebihan. Bahkan, pekerjaan sampinganku sebagai musisi lancar-lancar saja, walau kedua pekerjaan itu belum menghasilkan materi apa-apa untukku.

Aku memiliki dua sahabat bernama Zaki dan Reza. Aku sudah bersahabat dengan mereka sejak kecil, walau aku lebih lama bersahabat dengan Zaki dibandingkan dengan Reza. Zaki adalah orang yang simpel namun tidak terlalu mudah bergaul, sedangkan Reza adalah orang yang pantang menyerah dan cukup bijaksana.

Bersahabat dengan mereka cukup menyenangkan, banyak kisah yang telah kita lalui bersama. Mulai dari pertengkaran, permusuhan, dan masih banyak lagi. Intinya, aku dan mereka sudah bersahabat sejak bertahun-tahun lamanya.

Saat itu aku dan Zaki wisuda, karena kami memang satu sekolah. Dan, di wisuda itu kami diberi sebuah buku kenangan yang berisi berbagai hal tentang sekolah kami —termasuk dengan biodata semua siswa-siswi angkatan kami.

Malam itu kami sedang berkumpul di rumah Zaki —di kamarnya. Sekedar berbincang-bincang ria, mulai dari masalah sekolah, hingga asmara. Dan, rasanya akulah orang yang begitu sulit dalam asmara. Aku adalah orang yang sangat canggung dalam memulai sebuah hubungan pertemanan baru dengan lawan jenis.

"Bosen gue sendiri mulu. Serius. Tapi, pas gue suka sama satu cewek, entah kenapa setiap cewek yang gue sukai itu selalu udah punya pacar," keluhku pada mereka.

"Selagi masih berstatus pacar, ya kenapa enggak?" kata Zaki.

"Tapi, kan gue gak enah hati lah,"

"Ya, cari aja yang lain," timpa Reza.

Aku pun melirik buku kenangan yang ada di kasur Zaki, aku mengambilnya dan membuka buku tersebut dari lembar ke lembar. Aku melihat-lihat isi biodata teman-teman sekelasku, karena memang kelasku yang pertama. Namun, tiba-tiba Zaki mengambil buku tersebut dariku.

"Di buku ini, aku sudah menandai 8 orang," kata Zaki.

"Serius?"

"Iya,"

"Coba gue lihat kelas lo," pintaku.

"Di kelasku juga gue sudah nandain,"

Aku membuka kelas Zaki —kelas XII MIPA 3. Memang banyak sekali siswi di sana yang menurutku menarik, namun ada satu yang menarik hatiku karena satu hal. Dia adalah perempuan yang mempunyai satu hobi, membaca. Ya, hobinya hanya membaca dan itu menurutku sangat menarik.

"Neng Melsa ini bukannya orang yang dulu diisukan suka sama lo?" tanya Zaki.

"Benarkah?" aku benar-benar tidak tahu.

"Iya, lolupa ya?"

"Seriusan, gue lupa, atau emang gak tahu,"

Aku membaca biodata gadis bernama Neng Melsa itu dengan teliti. Hanya dengan biodata singkatnya itu aku sudah dibuat kagum. Aku bisa menduga bahwa ia adalah orang yang ambisius namun santai. Mulai dari motto hidup dan cita-cita, berbeda dari yang lain.

Aku mencoba menyalin nomor ponsel yang ada di biodatanya itu. Namun, sayang nomor yang tercantum tidak terdaftar di aplikasi WhatsApp. Aku pun melihat akun instragamnya berdasarkan biodatanya. ya, aku stalking.

Dia cantik. Aku tak bohong. Aku semakin tak percaya diri saat itu, maka dari itu aku menutup kembali ponselku. Namun, lucunya aku malah meminta nomor ponselnya ke temanku, Zaki, karena dia teman sekelasnya. pasti ada nomor dia di grup WhatsApp.

"Tunggu, gue cari dulu," Zaki mencari-cari nomornya, dan akhirnya ketemu. Zaki pun menyimpan nomor teleponnya dan mengirimkannya padaku.

Tapi, sungguh aku tidak bisa memulai percakapan. Sampai larut malam aku hanya terdiam sambil membaca biodata Melsa. Sial! Kenapa aku tidak bisa memikirkan kata-kata perkenalan saja. Tetap saja, aku tidak bisa mengetik apa-apa malam itu.

Esok harinya, aku masih belum bisa mengirim pesan apa-apa padanya. Sampai Reza memberiku beberapa saran pesan karena memang dia adalah orang yang paling sering pacaran di antara kami. Aku ingin memberanikan diri tapi tetap saja aku tidak bisa, aku takut.

Setelah beberapa saat aku merenung, mengumpulkan kekuatan agar aku bisa mengetikan pesan padanya. Akhirnya aku berhasil mengirim pesan ringan padanya. Ya, mengucapkan salam dan memperkenalkan diri. Saat melihat status mengetik dia muncul, jantungku sudah mau copot dan nafasku seperti orang yang dikejar-kejar anjing liar.

Tapi, ada satu pertanyaan darinya yang sangat aku takutkan sejak malam. Dan, itu benar-benar terjadi.

"Dapat nomor ini dari siapa?" tulis Melsa.

"Oh, dari Zaki. Sebelumnya maaf gak ngasih tahu kamu dulu. Maaf ya.

Ya, aku pengen kenal aja sama kamu, itung-itung buat mempertambah pertemanan soalnya ada satu hal yang aku kagetin dari kamu," balasku.

"Oh iya. Iya emang kenapa?"

"Kamu suka baca, kan?"

"Lumayan, sih, baca komik," dia mengirim itu dengan emotikon tertawa.

Aku senang karena dia sudah mengirimkan emotikon padaku. Tapi ingin dia semakin dekat denganku dan meyakinkanku bahwa dia lah yang harus aku fokuskan ke depan.

"Selain komik apalagi yang suka kamu baca? Atau emang komik aja?" tanyaku.

"Suka baca rumus, tapi fisika doang,"

Aku terkejut. Aku langsung terkejut bahwa dia adalah gadis yang cerdas.

Percakapan pun berlanjut, aku dan Melsa membahas berbagai hal sampai ke ranah K-Pop, karena memang aku menyukai musik Korea terutama NELL dan Super Junior. Meskipun aku dapat melihat dari cara ia mengirim pesan padaku —dia masih belum yakin padaku. Tapi, aku takkan menyerah sampai dia memang benar-benar menghindar dariku.

Esok malam, aku berkumpul lagi dengan dua temanku, Zaki dan Reza. Mereka pun lantas menanyakan tentang kelangsungan pendekatanku dengan Melsa. Tapi, apa kalian tahu? Dia tidak membalas pesanku lagi sejak siang. Meskipun aku mengirim pesan untuk kedua kalinya padanya. Namun, dia selalu aktif dan sering melihat status WhatsAppku. Sungguh menyebalkan.

"Ya, terus gimana dong?" tanya Reza.

"Biarlah, jika memang dia tertarik padaku, mungkin suatu saat dia akan mengirimi aku pesan lagi," jawabku.

"Cari lagi aja, Sal," Zaki memberiku saran.

"Ya, bisa tapi, tetap aku tidak bisa memulai sebuah hubungan pertemanan dengan perempuan yang baru aku kenal. Terlebih itu perempuan cantik," kataku.

Kami pun membicarakan hal lain. Aku pun larut melupakan masalah yang sepele itu —pesanku tidak dibalas oleh Melsa. Tapi, ada satu hal yang aku pelajari dari masalah ini. Ternyata seseorang itu bisa jatuh cinta pada orang yang belum pernah bertemu sama sekali. Ya, aneh. Aku hanya menyukai dia karena dia memiliki hobi membaca.

Esok harinya aku hanya memandangi pesan Melsa yang terakhir. Aku berusaha tetap santai dan tidak terlalu terbawa suasana. Akhirnya aku menulis ini selama dua hari. Menurutku cukup unik untuk diceritakan, karena betapa singkatnya pendekatanku pada Melsa, namun hasilnya tetap saja aku tak bisa bersamanya.

Aku masih sendiri. Mungkin aku harus membuka buku kenanganku lagi agar aku bisa menemukan seseorang yang bisa menemani hidupku.

Penulis: Afsal Muhammad (Pemimpin Redaksi Bewara Pers & Redaktur Cianjur Update)

                                                           

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama