Illustrasi: Unsplash.com |
'Melihat bagaimana malamku kini dipenuhi oleh dirimu, apa yang aku pikirkan sehingga kau luput dari memori kala itu?'
"It's 3 AM, Dipta." Adalah hal pertama yang menyapa telinga Dipta ketika panggilannya diterima.
Suara serak khas orang bangun tidur membuatnya semakin merindukan Cika, ia tak bermaksud membangunkannya, Dipta berniat menelpon dari pukul 11 tadi. Tapi yang ia lakukan justru melamun menatap botol wine yang tak kunjung ia tuang.
Entah bagaimana, akhir-akhir ini pikiran Dipta dipenuhi oleh Cika, lebih banyak dari sebelumnya. Ini juga bukan kali pertama Dipta melewatkan waktu tidur hanya untuk menekuri isi pikirannya.
Tangan kanan Dipta masih memetik senar gitar, tidak benar-benar membentuk nada karena pikirannya tidak di sana. Tangan kirinya yang memegang ponsel diturunkan, memilih menyalakan speaker dan meletakkan ponselnya di atas meja, di samping botol wine dan kertas lirik yang berserakan.
"Dipta? Masih disana nggak?"
Pantulan suara Cika di apartemennya sedikit memberi kehangatan tapi juga rasa ironi. Ia teringat akan janjinya bahwa Cika akan menjadi orang pertama yang akan ia bawa jika suatu saat ia membeli tempat tinggal dari uang hasil lagu yang ia buat sendiri.
Sekarang, Dipta ragu Cika bahkan masih mau bertemu.
Mendesak diri sendiri untuk berkata sesuatu agaknya tak membuahkan sepatah kata pun, pikirannya yang sebelumnya ramai berisi penyesalan, tersusun kata apa yang ingin ia katakan jika ia memiliki kesempatan, sekarang saat dibutuhkan, kata-kata itu menghilang di ujung lidah, hanya meninggalkan gema suara Cika yang sudah lama tak ia dengar, menyisakan kegetiran.
"Apa kabar?"
Ungkapan penyesalan, ribuan ekspresi maaf, berbagai tawaran permintaan kesempatan, apakah masuk akal yang keluar justru dua kata itu?
"Dipta serius, ini jam 3 pagi. Gue harus ke bakery besok pagi."
"Aku kepikiran kamu, bukan cuman hari ini aja sebenernya. Tapi cuman hari ini aku berani nelpon."
Dipta berusaha menekan rasa pahit di hatinya. Tidak ada lagi panggilan manis dari Cika sedikit melukai ekspektasinya. Jika bisa, Dipta ingin mengulang bulan Februari, dimana Cika masih memanggil Dipta dengan panggilan manis dan berusaha mengabarinya setiap hari, meski yang ia lakukan saat itu adalah mengabaikan semuanya, tak memiliki cukup waktu untuk ia bagi bersama Cika, tak memiliki cukup komitmen untuk menepati janji-janji yang akhirnya ia ingkari.
Sampai akhirnya Cika memilih berhenti, dan Dipta tak memiliki alasan untuk menahannya lagi.
Karena ia sendiri menyadari, dirinya lah yang membuat hubungan mereka memudar, seakan tak lagi ada.
Setelah beberapa saat tak menerima jawaban, Dipta sampai harus mendongkak melirik layar ponsel untuk memastikan telponnya tidak dimatikan, ia terlalu gugup untuk menghitung berapa lama hening diantara mereka menjeda, rasanya seperti berjam-jam telah terlewati sampai akhirnya Cika berbicara.
"Gue liat lo di TV kemarin, selamat ya, lagu lo sampai menang award." Meski Dipta sadar Cika tengah mengalihkan topik, ia tak berkata apa-apa, karena bahkan tanpa melihat, Dipta dapat mendengar senyuman dari suara Cika. "Bangga banget gue sama lo."
Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis, Cika selalu supportive akan kegemarannya terhadap musik bahkan semenjak gadis itu tahu Dipta selalu membuat lagu di soundcloud, Cika akan menjadi orang yang paling rutin mempromosikan lagunya di semua sosial media miliknya. Cika adalah orang yang mendukungnya dari titik memulai, dan entah bagaimana Dipta luput akan fakta itu untuk sekejap.
"Makasih, kalau bakery kamu gimana? How's life treating you?" Jika Cika menolak membicarakan perpisahan mereka, maka Dipta akan mengikuti kemana Cika akan membawa obrolan ini asalkan Dipta bisa mendengar suaranya.
"Gue buka cabang baru minggu lalu, life has been really good lately."
Dipta sempat ragu, tapi ia tak bisa mengikuti alur Cika, ia menelpon karena alasan, jadi meski tak benar-benar berani, Dipta tetap bertanya; "even without me?"
Ada jeda lagi, sebelum suara Cika kembali mengudara. "Even without you."
Oh,
Senyum Dipta berubah miris, mengasihani dirinya sendiri. Meski sudah ia duga, tapi jawaban Cika melukai lebih dari yang ia kira.
"You know? I can't help but think what we could be. Kalau aku bisa menepati janji-janji dan ngasih kamu waktu yang pantas kamu miliki, akan seperti apa kita saat ini?" Dipta menghela nafas, tangannya yang kanannya yang tadi mengepal ia longgar kan, kembali memetik senar gitar tak beraturan.
Sebab pikiran Dipta tidak di sana, seperti malam-malam sebelumnya, benaknya kembali ke bulan Februari, memikirkan ribuan bagaimana jika dan seandainya.
Sedangkan di ujung telpon, Dipta dapat mendengar tokoh utama dari cerita yang ia putar di kepala bergerak di atas kasurnya, menilai dari suaranya, sepertinya Cika mengubah posisinya.
Dipta membenci fakta bahwa saat ini, obrolan mengenai mereka berdua meninggalkan rasa tak nyaman bagi Cika.
"Akan jadi seperti apa hubungan kita,Cik? Kalau seandainya aku nggak bersikap kayak dulu,"
"You don't mean it."
Ah, seandainya Dipta bisa mengatakan apa yang selama ini menciptakan badai di dalam dirinya, mungkin Cika akan mengerti. Tapi riuh pikirannya berhenti seketika saat ia mendengar suara Cika, meskipun hanya lewat perantara telepon saja.
"I do." Suara Dipta terlalu lirih untuk bisa didengar Cika, tapi tak mengapa, Dipta sendiri ragu Cika akan menganggap serius apapun yang ia katakan.
"This time, can we make it work, Cik? Masih mau kamu kalau harus ngasih aku kesempatan?"
Di detik itu, detak jam terasa bising di telinga Dipta, waktu seakan mengejeknya. Dari berapa lama Cika memerlukan waktu untuk menjawab pertanyaannya, jauh di dalam hati Dipta tahu apa yang akan ia dapatkan sebagai jawaban.
"Sorry, Ta. Gue udah nggak bisa. Kita udah nggak bisa."
Petikan tangan kanannya berhenti, detak jam di telinganya berhenti. Saat itu, yang bisa Dipta dengar hanya suara Cika dari ponselnya, lalu hening. Bahkan Dipta tidak bisa mendengarkan apa yang benaknya bicarakan.
Dipta sudah menduga. Memang apa yang seharusnya Dipta terima selain penolakan yang pantas ia dapatkan?
Matanya menatap nyalang gelas kosong yang ia niatkan untuk diisi wine. Menatapnya lamat-lamat seakan benda mati itu dapat memberinya jawaban. Meskipun Dipta sudah menduganya, meskipun Dipta pantas mendapatkannya, mengapa ia masih merasakan kecewa?
"Selamat malam, Dipta." Di telinganya terdengar seperti selamat tinggal, seperti pesan tersirat dari Cika bahwa seharusnya Dipta tidak usah menghubunginya lagi.
Ketika suara tanda panggilan diakhiri mengisi ruangan apartemennya, Dipta mulai memiliki cukup motivasi untuk membuka botol wine di hadapannya, menuangkannya dengan pikiran yang berkelana entah kemana.
Seharusnya dari awal Dipta tak usah memiliki ide untuk menghubungi Cika, terlebih meminta kesempatan darinya. Besok ia harus sudah siap pukul 7 pagi, untuk menepati janji rekaman album barunya yang ia garap belakangan ini. Ia menduga-duga apa yang akan managernya katakan ketika melihat kondisinya yang berantakan?
Hanya saat gelas keempat tandas Dipta keluar dari kubangan pikirannya, beranjak meraih kertas dan pena, mulai menulis lirik berdasarkan rentetan sesal, bagaimana jika, dan seandainya.
Kembali melarikan diri dari realita lewat untaian kata.
Hanya ketika matahari terbit dan liriknya selesai lah, Dipta membiarkan lelah menguasainya. Dipindai kertas di tangannya sekali lagi sebelum menutup mata.
Penulis: Dinnaya Mahashofia (Kelas XII IPS 3)